Rancangan
Undang Undang (RUU) Penyederhanaan Nilai Nominal Uang Rupiah atau Redenominasi
Rupiah sudah diserahkan pemerintah ke DPR sejak 2013 silam. Namun, DPR masih
saja belum menyetujui membahas RUU tersebut. Rencana mengubah Rp 1.000 jadi Rp
1 dipastikan tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas
2017 di DPR karena dinilai belum memadai untuk dibahas.
Dalam
pandangan pemerintah, pada 2017 nanti situasi ekonomi sudah kondusif dan
memungkinkan untuk dimulainya pembahasan payung hukum redenominasi. Karena itu
pemerintah mengusulkan RUU itu dibahas tahun depan. Dengan ditolaknya usulan
pemerintah itu, waktu pemberlakuan redenominasi Rupiah masih belum jelas
mengingat pembahasan RUU-nya di DPR pun belum jelas.
Situasi saat
ini berbeda dengan 2013 silam, di mana ketika itu kondisi ekonomi domestik
terus melemah karena tekanan ekonomi global, seperti penurunan harga komoditas
dan normalisasi kebijakan moneter AS. Pada saat itu, pembahasan RUU ditunda.
Pada 2014,
pemerintah dan DPR juga kembali menunda pembahasan penyederhanaan nominal
Rupiah tersebut karena saat itu sudah memasuki tahun politik.
Sebenarnya,
pembahasan RUU Redenominasi itu menjadi penting karena jika sudah disepakati
menjadi UU, maka otoritas memiliki payung hukum dalam melaksanakan
langkah-langkah kebijakan menghilangkan tiga digit dalam penulisan nominal
Rupiah.
Anggota
Komisi XI DPR, Hendrawan Supratikno mengatakan, RUU Redenominasi tidak masuk
dalam Prolegnas prioritas 2017. Komisi XI, katanya, memilih tiga RUU sebagai prioritas
untuk 2017 yakni revisi UU Penerimaan Negara Bukan Pajak, revisi UU Ketentuan
Umum Perpajakan, dan revisi UU Bank Indonesia.
Apa alasan
DPR menolak membahas beleid ini?
Hendrawan
berpendapat, pada 2017 situasi belum memadai untuk membahas RUU Redenominasi
karena ini rawan untuk salah interpretasi, dikira sanering.
Hendrawan
mengatakan, rata-rata fraksi partai politik di parlemen juga menilai RUU itu
idealnya disahkan dan diterapkan dalam jangka waktu satu tahun setelah
pemerintahan baru terpilih.
Rata-rata
fraksi bilang UU Redenominasi ini dijalankan setelah 1 tahun pemerintahan baru
terbentuk. ""Pemilu mendatang 2019, misalnya 2020 diterapkan. Itu
pertimbangan dari fraksi," katanya seperti ditulis Antara.
Ekonom
Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira
mengatakan, RUU Redenominasi itu terlalu sensitif untuk dibahas pada 2017
mengingat kodisi ekonomi domestik belum stabil dan masih derasnya tekanan
terhadap perekonomian. Dia khawatir jika dilakukan pada tahun depan, pembahasan
UU itu dapat menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat yang masih terkendala
lemahnya daya beli.
Selama ini,
belum ada sosialisasi masif tentang masa transisi penggunaan Rupiah, jika
redenominasi atau penyederhanaan tiga digit pada nominal Rupiah dilakukan.
Dengan minimnya pemahaman tentang redenominasi, jika pemerintah dan parlemen
memaksakan memulai pembahasan RUU redenominasi, dikhawatirkan bisa menimbulkan
kesalahpahaman di masyarakat.
Menurut
Bhima, sebaiknya RUU terkait redenominasi ini dibahas pada 2018 atau 2019.
Sejak sekarang, pemerintah dan BI diminta untuk melakukan sosialisasi masa
transisi dari redenominasi Rupiah.
"Butuh
waktu redenominasi sebenarnya sesuatu yang sederhana, tapi masalahnya ada pada
pola pikir dan psikologis massa sehingga butuh waktu mewujudkannya."
Namun
demikian, pemerintah berpendapat lain.
Pecahan mata
uang Indonesia sebesar Rp 100.000 merupakan angka terbesar kedua di dunia.
Pertama adalah pecahan 500.000 dong dari Vietnam. Namun, jika Zimbabwe
dimasukkan, pecahan Indonesia berada di urutan ketiga terbesar di dunia.
Selain itu,
nilai uang dengan jumlah digit yang banyak juga menimbulkan kerumitan
perhitungan dalam transaksi ekonomi sehingga berpotensi menimbulkan kekeliruan
serta memakan waktu lebih lama.
Untuk itu,
perubahan harga mata uang atau redenominasi diperlukan karena dapat
meningkatkan kepercayaan terhadap nilai Rupiah, mempermudah sistem pembayaran
serta mencerminkan kesetaraan kredibilitas dengan negara maju lainnya.
Dengan adanya
redenominasi, nilai rupiah semakin berharga dan dapat disejajarkan dengan nilai
mata uang negara lain.
Dipastikan
proses redenominasi berbeda dengan sanering yang merupakan pemotongan nilai
uang, karena redenominasi merupakan penyederhanaan nominal yang sama atas harga
barang dan jasa, sehingga daya beli masyarakat tidak berubah.
Keberhasilan
melaksanakan redenominasi dengan menghilangkan tiga angka nol dalam harga
barang dan jasa, membutuhkan dukungan kuat dari lapisan masyarakat, dilakukan
pada perekonomian stabil dan adanya landasan hukum serta edukasi yang intensif.
Redenominasi
merupakan penyederhanaan penyebutan satuan harga maupun nilai mata uang tanpa
mengurangi nilai dari uang itu. Nilai mata uang tetap sama meski angka nolnya
berkurang. Misalnya, Rp 1.000 menjadi Rp 1 atau Rp 1 juta menjadi Rp 1.000.
Sementara
sanering adalah pemotongan uang. Selalu dilakukan oleh suatu negara dalam
kondisi ekonomi tidak stabil, misalnya situasi inflasi tinggi sehingga nilai
mata uang dan daya beli merosot dengan cepat.
No comments:
Post a Comment